PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Teori belajar
konstruktivisme mulai berkembang pada abad 19. Teori tersebut merupakan suatu
teori yang lebih mementingkan proses dari pada hasil. Proses pembelajaran tidak
hanya melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, tetapi lebih banyak
melibatkan proses berfikir. Menurut teori ini ilmu pengetahuan dibangun dalam
diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan
lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpisah-pisah tetapi melalui proses yang
berkesinambungan dan menyeluruh.
Melalui proses
yang bermakna maka seorang anak akan tumbuh menjadi seorang individu yang lebih
sempurna. Sama juga dalam hal belajar, penanaman proses lebih penting bila
dibandingkan dengan penekanan hasil. Dengan proses yang bermakna maka akan
dapat menghasilkan keluaran yang baik.
Diantara para
penemu belajar konstruktivisme yaitu Piaget. Beliau adalah seorang psikolog
developmental karena penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan serta
perubahan umum yang mempengaruhi kemampuan belajar individu.
Proses berfikir
merupakan aktivitas gradual fungsi intelektual dari konkret ke abstrak. Selain
hal tersebut Piaget juga menyelidiki masalah mengenai adaptasi manusia serta
perkembangan intelektual atau kognisi berdasarkan dalil bahwa struktur
intelektual terbentuk di dalam individu akibat interaksinya dengan lingkungan. Dalam
makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai teori-teori dari Piaget yang
dapat diterapkan dalam pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalahnya yang akan dibahas adalah:
1. Asumsi
–asumsi dasar Piaget
2. Tahap
perkembangan Kognitif
3. Implikasi
teori Piaget dalam Pendidikan
4.
Unsur Penting
dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis
C.
Tujuan Penulisan
1. Asumsi
–asumsi dasar Piaget
2. Tahap
perkembangan Kognitif
3. Implikasi
teori Piaget dalam Pendidikan
4. Unsur
Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis
PEMBAHASAN
Salah satu
prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja memberikan
pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa yang harus aktif membangun pengetahuan
dalam pikiran mereka. Tokoh yang berperan pada teori ini adalah Jean Piaget dan
Vygotsky. Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran
yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
dipelajari.Secara umum yang disebut konstruktivisme menekankan kontribusi
seseorang pembelajar dalam memberikan arti, serta belajar sesuatu melalui
aktivitas individu dan sosial. Beberapa pemikir konstruktivis seperti Vigotsky
menekankan berbagi dan konstruksi sosial dalam pembentukan pengetahuan
(konstruktivisme sosial); sedangkan yang lain seperti Piaget (pakar psikologi
dari Swiss) melihat konstruksi individulah yang utama (konstruktivisme
individu). Piaget menjelaskan bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif mereka
sendiri. Piaget yakin bahwa anak-anak menyesuaikan pemikiran mereka untuk
menguasai gagasan-gagasan baru, karena informasi tambahan akan menambah
pemahaman mereka terhadap dunia. Ia juga menjelaskan
bagaimana tiap individu mengembangkan schema, yaitu suatu sistem
organisasi aksi atau pola pikir yang membuat kita secara mental mencerminkan
"berpikir mengenainya". Dua proses diaplikasikan dalam hal ini yaitu
asimilasi dan akomodasi. Melalui asimilasi individu berusaha menggabungkan
informasi baru ke dalam pengetahuan mereka yang sudah ada (schema). Sedangkan
akomodasi adalah terjadi ketika individu
menyesuaikan diri dengan informasi baru.
Seseorang
melakukan adaptasi dalam situasi yang makin kompleks ini dengan menggunakan schema
yang masih bisa dianggap layak (asimilasi) atau dengan melakukan perubahan dan
menambahkan pada schema-nya sesuatu yang baru karena memang diperlukan
(akomodasi). Misalnya ada seorang anak 7 tahun dihadapkan dengan palu dan paku
untuk memasang gambar di dinding. Ia mengetahui dari pengamatan bahwa palu
adalah obyek yang harus dipegang dan diayunkan untuk memukul paku. Dengan
mengenal kedua benda ini, ia menyesuaikan pemikirannya dengan pemikiran yang
sudah ada (asimilasi). Akan tetapi karena palu terlalu berat dan ia mengayunkannya
dengan keras maka paku tersebut bengkok, sehingga ia kemudian mengatur tekanan
pukulannya. Penyesuaian kemampuan untuk sedikit mengubah konsep disebut
akomodasi.
Piaget memakai
istilah “scheme” secar interchangeably dengan istilah struktur. Scheme adalah
pola tingkah laku yang dapat diulang. Sceme berhubungan dengan :
a.
Reflex-refleks
pembawaan missal bernafas, makan, minum.
b.
Scheme mental misalnya
scheme of classification, scheme of operation (pola tingkah laku yang masih
sukar diamati seperti sikap dan pola tingkah laku yang dapat diamati).
Menurut Piaget,
intelegensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek, yaitu:
a.
Struktur, disebut
dengan scheme.
b.
Isi, disebut dengan
content, yaitu pola tingkah laku spesifik ketika individu menghadapi sesuatu
masalah.
c.
Fungsi, disebut juga
function, yang berhubungan dengan cara seorang mencapai kemajuan intelektual.
Fungsi terdiri dari dua
macam fungsi invariant yaitu:
1. Organisasi;
berupa kecakapan seseorang/organism dalam menyusun proses-proses fisik dan
psikis dalam bentuk system-sistem yang koheren.
2. Adaptasi:
yaitu adaptasi individu terhadap lingkungan yang terdiri dari 2 macam proses
yang saling komplementer yaitu asimilasi dan akomodasi.
Hal
yang paling mendasar dari penemuan Piaget ini adalah belajar pada siswa tidak
harus terjadi hanya karena seorang guru mengajarkan sesuatu padanya, Piaget
percaya bahwa belajar terjadi karena siswa memang mengkonstruksi pengetahuan
secara aktif darinya, dan ini diperkuat bila siswa mempunyai kontrol dan
pilihan tentang hal yang dipelajari. Pengajaran oleh guru yang mengajak siswa
untuk bereksplorasi, melakukan manipulasi, baik dalam bentuk fisik atau secara
simbolik, bertanya dan mencari jawaban, membandingkan jawaban dari siswa lain
akan lebih membantu siswa dalam belajar dan memahami sesuatu.
Asumsi-asumsi
dasar Piaget
Piaget
memperkenalkan sejumlah ide dan konsep untuk mendeskripsikan dan menjelaskan
perubahan-perubahan dalam pemikiran logis yang diamatinya pada anak-anak dan
orang dewasa. Diantaranya:
1. Anak-anak
adalah pembelajar yang aktif dan termotivasi.
Anak-anak adalah subjek
yang secara alami memiliki ketertarikan terhadap dunia dan secara aktif mencari
informasi yang dapat membantu mereka memahami dunia tersebut. Anak akan terus
bereksperimen dengan objek-objek yang mereka jumpai, memanipulasinya dan
mengamati dampak dari tindakan mereka.
2. Anak-anak
mengonstruksi pengetahuan mereka berdasarkan pengalaman.
Anak-anak tidak hanya
sekedar mengumpulkan hal-hal yang mereka pelajari menjadi suatu koleksi
fakta-fakta yang melekat pada diri mereka. Tetapi mereka juaa menggabungkan
penglaman-pengalaman mereka menjadi suatu pandangan terintegrasi mengenai cara
kerja dunia di sekitar mereka. Piaget mengemukakan bahwa anak-anak mengonstruksi
keyakinan dan pemahaman mereka berdasarkan pengalaman yang mereka alami.
3. Anak-anak
belajar melalui dua proses yang saling melengkapi yaitu asimilasi dan
akomodasi.
Piaget mengemukakan
bahwa pembelajaran dan perkembangan kognitif terjadi sebagai hasi dua proses
yang komplementer yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi melibatkan respons
terhadap obje atau peristiwa sesuai dengan scema (pengetahuan) yang sudah ada. Ada
kalanya anak-anak memodifikasi schema yang sudah ada atau membentuk rancangan
yang benar-benar baru sehingga sesuai dengan objek atau peristiwa baru
(akomodasi). Anak akan mendapatkan manfaat pengalaman-pengalaman baru jika
mereka mampu menghubungkan pengalaman tersebut dengan pengetahuan dan keyakinan
yang mereka miliki.
4. Interaksi
anak dengan lingkungan fisik dan social adalah factor yang sangat penting bagi
perkembangan kognitif.
Eksperimen yang
dilakukan anak secara aktif terhadap dunia fisik merupakan elemen vital bagi
pertumbuhan kognitif. Dengan mengeksplorasi dan memanipulasi objek-objek fisik
mereka akan mempelajari karakteristik objek-objek tersebut. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran yang berbasis penemuan (discovery learning)
menjadi suatu aspek penting dalam proses belajar mengajar.
5. Proses
ekuilibrasi endorong kemajuan ke arah kemampuan berfikir yang makin kompleks.
Piaget mengemukakan
anak-anak seringkali berada dalam kondisi ekuilibrium dimana mereka mampu
menafsirkan dan merespon peristiwa baru dengan schema yang sudah ada.
Seiring tumbuh dan
berkembang, kadang mereka menjumpai situasi dimana pengetahuan suatu
keterampilan mereka tidak memadai. Situasi ini menimbulkan disekuibilirum yaitu
sejenis ketidaknyamanan mental yang mendorong anak berusaha memahami hal-ahal
yang sedang mereka observasi. Dengan mengubah atau menngorganisasi objek atau
schema yang ada, pada akhirnya mereka mampu memahami peristiwa yang
membingungkan itu. Proses dari ekuibilirum ke disekuibilirum kembali ke ekuibilirum
ini disebut ekuilibrasi.
6. Sebagai
salah satu akibat dari perubahan kematangan otak, anak-anak berfikir dengan
cara-cara yang secara kualitatif berbeda pada usia yang berbeda.
Piaget berspekulasi
bahwa otak memang berubah secara signifikan dan perubahan tersebut memungkinkan
terjadinya proses berfikir yang semakin kompleks.
Pembelajaran Menurut Teori Belajar
Konstruktivisme
Menurut teori belajar
konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran
guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun
struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.
Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap
diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30)
mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai
berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan
secara bermakna. Kedua adalah pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam
pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan
dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan
mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar
konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif,
tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi
bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang
dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya
keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan
pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik
Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari
sesuatu bila belajar itu didasari pada apa yang telah diketahui orang lain.
Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar
yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu
diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3)
mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu
(1)
siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka
miliki,
(2)
pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti,
(3)
strategi siswa lebih bernilai, dan
(4)
siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan
ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar
konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan
dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
(1)
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa
sendiri,
(2)
memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga
menjadi lebih kreatif dan imajinatif,
(3)
memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru,
(4)
memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,
(5)
mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
(6)
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Selain itu Slavin menyebutkan strategi-strategi belajar pada
teori kontruktivisme adalah top-down processing( siswa belajar dimulai
dengan masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menemukan ketrampilan
yang dibutuhkan, cooperative learning(strategi yang digunakan untuk
proses belajar, agar siswa lebih mudah dalam menghadapi problem yang dihadapi
dan generative learning(strategi yang menekankan pada integrasi yang
aktif antara materi atau pengetahuan yang baru diperoleh dengan skemata.
Tiga dalil pokok
Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap
perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental.
Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan;
(1) perkembangan intelektual
terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang
sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan
dengan urutan yang sama,
(2) tahap-tahap tersebut
didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan,
pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang
menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan
(3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi
oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang
menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur
kognitif yang timbul (akomodasi).
Tahap-tahap perkembangan kognitif
Piaget
mengidentifikasi emat factor yang mempengaruhi transisi tahap
perkembangan anak, yaitu:
1. Kematangan
2. Pengalaman fisik/lingkungan
3. Transmisi social
4. Ekuibilirum (self regulation)
Tahap
perkembangan kognitif menurut Piaget:
1. Tahap sensorimotor (kelahiran hingga
usia 2 tahun)
Piaget mengemukakan bahwa dalam
sebagian besar tahap sensorimotor, anak-anak berfokus pada apa yang mereka
lihat dan lakukan saat itu. Skema –skema mereka tersusun berdasarkan perilaku
dan persepsi. Ia juga menyatakan bahwa
kemampuan berfikir yang sesungguhnya muncul pada usia dua setengah tahun.
Secara spesifik, anak memperolah kemampuan berfikir simbolik (symbolic thought)
yaitu kemampuan merepresentasikan dan memikirkan objek-objek dan
peristiwa-peristiwa dalam kerangka entitas mental internal atau symbol.
2. Tahap Praoprasional (usia 2 tahun
hingga 6 atau 7 tahun)
Pada masa awal tahap praoperasional
konkret, keterampilan bahasa anak akan berkembang pesat dan penguasaan kosakata
yang meningkat memungkinkan mereka mengekspersikan dan memikirkan beragam objek
dan peristiwa. Bahasa juga menjadi dasar bagi bentuk interkasi social yang baru
yaitu komunikasi verbal. Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi
masih terbatas pada ha-hal yang dapat dijumpai atau dilihat di dalam
lingkungannya saja. Pada saat mendekati akhir tahap praoperaional, anak mulai
menunjukkan tanda-tanda awal pemikiran logis yang menyerupai pemikiran orang
dewasa tapi belum selogis orang dewasa tapi anak sudah muali mengenal symbol
atau nama.
Dalam hubungan ini, Philips (1969)
membagi atas:
a. Concreteness
b. Irreversibility
c. Centering (tampak adanya
egocentrisme)
d. States vs transformation dan
e. Transductive reasoning.
3. Tahap Operasional Konkret (usia 6
atau 7 tahun hingga 11 atau 12 tahun)
Saat anak memasuki tahap oprasional
konkret, proses berfikir mereka menjadi terorganisasi ke system proses mental
yang lebih besar yang memudahkan mereka berfikir lebih logis aripada
sebelumnya. Anak telah dapat menetahui symbol-simbol matematis, tetapi belum dapat
menghadapi hal-hal abstrak. Kecakapan kognitif anak:
a. Combinativity classification
b. Reversibility
c. Associativity
d. Identity
e. Serializing.
Anak mulai kurang egocentrisme-nya dan lebih sosiocentris
(anak mulai membentuk peer group).
4. Tahap operasional Formal (usia 11
atau 12 tahun hingga dewasa)
Anak dan remaja yang berada dalam
tahap ini dapat memikirkan dan membayangkan konsep-konsep yang tidak
berhubungan dengan realitas konkret. Mereka juga mengenali kesimpulan yang
logis sekalipun kesimpulan tersebut berbeda dari kenyataan di dunia
sehari-hari. Anak telah mempunyai pemikiran yang abstrak pada bentuk-bentuk
lebih kompleks. Flanell (1963) memberikan cirri-ciri berikut:
a. Pada pemikiran anak remaja adalah
hypothetico-deductive.
Remaja dapat membuat hipotesis-hipotesis dari suatu problema
dan membuat keputusan terhadap problema itu secara tepat, tetapi anak kecil
belum dapat menyimpulkan apakah hipotesisnya diterima atai ditolak.
b. Periode propositional thinking
Remaja telah dapat memberikan statement atau proposisi
berdasar pada data yang konkret. Tetapi kadang-kadangia berhadapan dengan
proposisi yang bertentangan dengan fakta.
c. Periode combinatorial thinking
Bila remaja itu mempertimbangkan tentang pemecahan masalah,
ia telah dapat memisahkan factor-faktor yang menyangkut dirinya dan
mengombinasi factor-faktor itu.
Implikasi Teori Piaget
Para
pendidik memandang bahwa teori Piaget dapat dipakai sebagai dasar pertimbangan
guru di dalam menyusun struktur dan urutan mata pelajaran di dalam kurikulum.
Hunt (1964) mempraktekkan di dalam program pendidikan TK yang menekankan ada
perkembangan sensori motoris dan praoperasional, Poel (1964) di dalam program
pendidikan Science dan Adler (1966) di dalam mengajar berhitung.
Yang penting
guru harus mengerti alam pikiran anak dan tradisinya dari tingkat-tingkat
perkembangan intelektual tersebut, missal diutarakan Korplus (1964) bahwa anak
TK akan lain dengan anak lulusan SD. Hubungan antara tingkat perkembangan
konseptual dengan bahan pelajaran yangn kompleks menunjukkan bahwa guru harus
memperhatikan apa yang harus diajarkan dan bagaimana mengajarkannya. Situasi
belajar yang ideal ialah keserasian antara bahan pengajaran yang kompleks
dengan tingkat perkembangan konseptual anak.
Salah
satu yang penting adalah kematangan anak
untuk belajar. Gagne memberikan suatu alternative pemecahannya dengan
menunjukkan perbedaan antara kematangan perkembangan dengan keterampilan
intelektual yang dipelajari dengan sungguh-sungguh. Kalau anak tidak dapat
menyelesaikan suatu tugas, mungkin karena anak itu belum memiliki keterampilan
subordinat yang berhubungna dengan tugas itu. Anak akan dapat mempelajari tugas
apa saja kalau ia sudah memiliki keterampilan intelektual yang menjadi
pre-reqiusit.
Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis
Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah
kriteria dan pendapat sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima
unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:
1. Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan
untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Siswa didorong untuk
mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah
dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal
siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan
konsepsi pada diri siswa.
2. Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di
dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh
karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan
bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat
terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan
sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan juga
penerapan konsep.
3. Adanya lingkungan sosial yang kondusif,
Siswa diberi kesempatan untuk bisa
berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain
itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
4. Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa
bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan
diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.
5. Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia
ilmiah.
Sains bukan hanya produk (fakta,
konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu
pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang
“kehidupan” ilmuwan.
DAFTAR
PUSTAKA
Soemanto, Wasty. 1998. Psikologi
Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Wahab, Rochmad. 1999. Perkembangan
dan Belajar Peserta Didik. DEPDIKNAS
Dalyono. 2009. Psokologi
pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Uno, Hamzah. 2010. Orientasi Baru dalam
Psokologi Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara
Ormrod, Jeanne. 2008. Edisi Ke 6
Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Jakarta: Erlangga